Anak Muda Provokator Damai di Media Sosial

14-10-2020 - Badan Strategi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Jakarta (25/09) - Media sosial kerap dimanfaatkan untuk menyebarkan ujaran kebencian yang menyerang kelompok tertentu. Tidak jarang, ujaran kebencian yang viral di media sosial memicu kekerasan di dunia nyata. Dalam rangka memperingati Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada 21 September lalu, Balitbangkumham mengajak masyarakat untuk mengulas usaha melawan ujaran kebencian di media sosial.

Diskusi daring OPini yang digelar Balitbangkumham kali ini bertajuk “Anak Muda Provokator Damai di Media Sosial”. Gelaran OPini seri 9 ini menghadirkan 4 narasumber utama yaitu Yosi Mokalu (Ketua Umum Siberkreasi Indonesia), Eko Noer Kristiyanto, S.H., M.H. (Peneliti Balitbang Hukum dan HAM), Dr.Ir. Firman Kurniawan Sujono, M.Si ( Akademisi/Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital) dan Enda Nasution, S.T. (Koordinator Gerakan #BijakBersosmed).

Kepala Balitbangkumham, Sri Puguh Budi Utami dalam sambutannya menyampaikan bahwa media sosial memiliki pengaruh yang sangat besar dalam relasi sosial masyarakat. Anak muda, sebagai pengguna terbesar media sosial memiliki peran penting untuk merawat perdamaian. “Anak muda ini yang bertugas sebagai provokator damai di media sosial, untuk melawan ujaran kebencian,” jelasnya.

Untuk mengantisipasi ujaran kebencian di media sosial ada dua aspek yang perlu dikuatkan. Pertama, aspek hukum yang mampu memangkas ujaran kebencian di hulu. Kedua, mendorong masyarakat untuk bijak bermedia-sosial.

Dalam aspek hukum, Peneliti Balitbangkumham Eko Noer Kristiyanto, menyampaikan bahwa pemerintah telah menetapkan UU ITE yang membatasi perbuatan ujaran kebencian di masyarakat. “Terlepas dari kontroversinya, UU ITE sudah memberi batasan agar pengguna medsos tahu ekspresi yang bertanggungjawab, yaitu jangan SARA, jangan fitnah dan jangan pornografi,” tegas Eko.

Firman Kurniawan menambahkan bahwa UU ITE saja tidak cukup untuk memangkas ujaran kebencian. Menurutnya, UU ITE hanya mengatur perilaku penggunanya sedangkan untuk memutus rantai ujaran kebencian harus ada regulasi yang mengatur platform media sosial. “Kalau belum ada regulasi yang bisa membatasi platform media sosial, ujaran kebencian akan terus ada, karena harus diakui ujaran kebencian itu jadi komoditas yang bisa menguntungkan,” ungkapnya.

Aspek kedua mengenai kecerdasan berliterasi bisa ditingkatkan lewat upaya bersama pemerintah dan masyarakat sipil. Yosi Mokalu, Ketua Siberkreasi, mengatakan bahwa inisiatif merawat damai di media sosial sudah dimulai oleh pemerintah dan komunitas masyarakat. Lewat gerakan Siberkreasi, Yosi dan jejaringnya berhasil melahirkan anak-anak muda yang secara aktif menyebarkan konten positif untuk melawan hoax, cyberbullying dan online radicalism. Lewat gerakan ini Yosi berharap semangat damai dapat ditularkan ke berbagai kalangan.

Blogger Indonesia, Enda Nasution yang menjadi koordinator gerakan #bijakbersosmed, mengatakan bahwa cerdas berliterasi itu penting. Menurutnya data dan informasi itu akan terus beredar tanpa batasan. Tapi manusia memiliki pengetahuan, wawasan dan kebijaksanaan untuk mengolah dan menyebarkannya. “Saring sebelum sharing, itu yang penting,” pungkasnya.

Diskusi daring OPini kali ini diikuti lebih dari 500 peserta. Kepala Balitbangkumham berharap 500 peserta yang hadir dalam diskusi ini bisa menjadi agen perdamaian di tengah masyarakat. (*Humas)

Bagikan berita melalui