Hakim PA Mungkid memberi materi dihadapan Mahasiswa/i Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Mu’amalah) Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA)

08-11-2021 - PENGADILAN AGAMA MUNGKID — PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG

Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus 2013 atas permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa Undang-Undang harus menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan, maka penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama. Sebab isi Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 berbunyi “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”. Sedangkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 berbunyi “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”. Kemudian Pasal 55 ayat (3) berbunyi “Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah”. Hal ini menimbulkan munculnya ketidakpastian hukum, sehingga tidak sesuai dengan maksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas. Pasca putusan MK tersebut berbagai pelatihan maupun diklat terus digelar untuk membekali para hakim di ligkungan peradilan agama dalam menghadapi masuknya perkara sengketa ekonomi syariah di pengadilan agama dengan berbagai kasus yang melatar-belakangi timbulnya sengketa, meskipun sebelumnya kegiatan serupa juga telah dilakukan pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan tambahan kewenangan pengadilan agama untuk menangani perkara sengketa ekonomi syariah. Berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar maupun pedoman teknis dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesian Sengketa, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Bank Indonesia (PBI), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA), seperti PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesian Perkara Ekonomi Syariah, PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagaimana dirubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019. Bentuk gugatan sengketa ekonomi syariah bisa diajukan dengan acara gugatan biasa atau gugatan sederhana. Untuk gugatan dengan acara sederhana dibatasi hanya terhadap perkara cidera janji (wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum (PMH) dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan diperiksa oleh Hakim Tunggal serta harus selesai maksimal 25 (dua puluh lima) hari kerja dengan ketentuan-ketentuan lain sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 sebagaimana dirubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019. Jenis sengketa ekonomi syariah atau perbankan syariah yang diterima oleh Pengadilan Agama selama ini meliputi gugatan PMH, gugatan wanprestasi dengan obyek jaminan yang diikat dengan hak tanggungan maupun fidusia serta permohonan eksekusi lelang hak tanggungan. Beberapa pointer tentang penyelesaian sengketa ekonomi syariah tersebut disampaikan oleh Drs. Ali Irfan, S.H., M.H., salah satu Hakim PA Mungkid yang ditunjuk menangani perkara sengketa ekonomi syariah sebagai Ketua Majelis maupun sebagai Hakim Tunggal dihadapan Mahasiswa/i Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Mu’amalah) Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA) yang sedang melakukan Praktik Kerja Lapangan di PA Mungkid. [Irf]

Bagikan berita melalui