Pelayanan Rawat Jalan

  1. MEMBAWA KTP/SIM/KARTU PELAJAR/KK/KARTU BPJS
  2. MEMBAWA KARTU TANDA BEROBAT

  1. Prosedur Pemeriksaan Gonore : 1. Petugas memanggil pasien 2. Petugas mengidentifikasi pasien 3. Petugas menganamnesa pasien Keluhan utama berhubungan erat dengan infeksi pada organ genital yang terkena. Pada pria : keluhan tersering adalah kencing nanah. Gejala diawali oleh rasa panas dan gatal di distal uretra, disusul dengan disuria, polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung uretra yang kadang disertai darah. Selain itu, terdapat perasaan nyeri saat terjadi ereksi. Gejala terjadi pada 2-7 hari setelah kontak seksual Apabila terjadi prostatitis, keluhan disertai perasaan tidak enak di perineum dan suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing hingga hematuri, serta retensi urin, dan obstipasi. Pada wanita : Gejala subyektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan obyektif. Wanita umumnya datang setelah terjadi komplikasi atau pada saat pemeriksaan antenatal atau Keluarga Berencana (KB). Keluhan yang sering menyebabkan wanita datang ke dokter adalah keluarnya cairan hijau kekuningan dari vagina, disertai dengan disuria, dan nyeri abdomen bawah. Keluhan selain di daerah genital yaitu : rasa terbakar di daerah anus (proktitis), mata merah pada neonatus dan dapat terjadi keluhan sistemik (endokarditis, meningitis, dan sebagainya pada gonore diseminata – 1i kasus gonore). Faktor Risiko a. Berganti-ganti pasangan seksual. b. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial (PSK). c. Wanita usia pra pubertas dan menopause lebih rentan terkena gonore. d. Bayi dengan ibu menderita gonore. e. Hubungan seksual dengan penderita tanpa proteksi (kondom). 4. Petugas melakukan pemeriksaan Fisik kepada pasien Tampak eritem, edema dan ektropion pada orifisium uretra eksterna, terdapat duh tubuh mukopurulen, serta pembesaran KGB inguinal uni atau bilateral. Apabila terjadi proktitis, tampak daerah anus eritem, edem dan tertutup pus mukopurulen. Pada pria: Pemeriksaan rectal toucher dilakukan untuk memeriksa prostat: pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan dan bila terdapat abses akan teraba fluktuasi. Pada wanita: Pemeriksaan in speculo dilakukan apabila wanita tesebut sudah menikah. Pada pemeriksaan tampak serviks merah, erosi dan terdapat secret mukopurulen. 5. Petugas melakukan pemeriksaan penunjang Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung duh tubuh dengan pewarnaan gram untuk menemukan kuman gonokokus gram negarif, intra atau ekstraseluler. Pada pria sediaan diambil dari daerah fossa navikularis, dan wanita dari uretra, muara kelenjar bartolin, serviks dan rektum. Pemeriksaan lain bila diperlukan: a. Kultur b. Tes oksidasi dan fermentasi c. Tes beta-laktamase d. Tes Thomson dengan sediaan urine 6. Petugas mengakkan diagnosa 7. Petugas melakukan penatalaksanaan terhadap pasien a. Memberitahu pasien untuk tidak melakukan kontak seksual hingga dinyatakan sembuh dan menjaga kebersihan genital. b. Pemberian farmakologi dengan antibiotik: Tiamfenikol, 3,5 gr per oral (p.o) dosis tunggal, atau ofloksasin 400 mg (p.o) dosis tunggal, atau Kanamisin 2 gram Intra Muskular (I.M) dosis tunggal, atau spektinomisin 2 gram I.M dosis tunggal. Catatan: tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin merupakan kontraindikasi pada kehamilan dan tidak dianjurkan pada anak dan dewasa muda. 8. Petugas mendokumentasikan hasilnya di rekam medis dan simpus
  2. Prosedur Pemeriksaan Sifilis : 1. Petugas memanggil pasien 2. Petugas mengidentifikasi pasien 3. Petugas menganamnesa pasien ? Pada afek primer, keluhan hanya berupa lesi tanpa nyeri di bagian predileksi. ? Pada sifilis sekunder, gejalanya antara lain: a. Ruam atau beruntus pada kulit, dan dapat menjadi luka, merah atau coklat kemerahan, ukuran dapat bervariasi, di manapun pada tubuh termasuk telapak tangan dan telapak kaki. b. Demam c. Kelelahan dan perasaan tidak nyaman. d. Pembesaran kelenjar getah bening. e. Sakit tenggorokan dan kutil seperti luka di mulut atau daerah genital. ? .Pada sifilis lanjut, gejala terutama adalah guma. Guma dapat soliter atau multipel dapat disertai keluhan demam. Pada tulang gejala berupa nyeri pada malam hari. ? Stadium III lainnya adalah sifilis kardiovaskular, berupa aneurisma aorta dan aortitis. Kondisi ini dapat tanpa gejala atau dengan gejala seperti angina pektoris. ? Neurosifilis dapat menunjukkan gejala-gejala kelainan sistem saraf (lihat klasifikasi). 4. Petugas melakukan pemeriksaan Fisik kepada pasien Stadium I (sifilis primer) Diawali dengan papul lentikuler yang permukaannya segera erosi dan menjadi ulkus berbentuk bulat dan soliter, dindingnya tak bergaung dan berdasarkan eritem dan bersih, diatasnya hanya serum. Ulkus khas indolen dan teraba indurasi yang disebut dengan ulkus durum. Ulkus durum merupakan afek primer sifilis yang akan sembuh sendiri dalam 3-10 minggu. Tempat predileksi a. Genitalia ekterna, pada pria pada sulkus koronarius, wanita di labia minor dan mayor. b. Ekstragenital: lidah, tonsil dan anus. Seminggu setelah afek primer, terdapat pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional yang soliter, indolen, tidak lunak, besarnya lentikular, tidak supuratif dan tidak terdapat periadenitis di ingunalis medialis. Ulkus durum dan pembesaran KGB disebut dengan kompleks primer. Bila sifilis tidak memiliki afek primer, disebut sebagai syphilis d’embiee. Stadium II (sifilis sekunder) S II terjadi setelah 6-8 minggu sejak S I terjadi. Stadium ini merupakan great imitator. Kelainan dapat menyerang mukosa, KGB, mata, hepar, tulang dan saraf. Kelainan dapat berbentuk eksudatif yang sangat menular maupun kering (kurang menular). Perbedaan dengan penyakit lainnya yaitu lesi tidak gatal dan terdapat limfadenitis generalisata. S II terdiri dari SII dini dan lanjut, perbedaannya adalah: S II dini terlihat lesi kulit generalisata, simetrik dan lebih cepat hilang (beberapa hari – beberapa minggu), sedangkan S II lanjut tampak setempat, tidak simetrik dan lebih lama bertahan (beberapa minggu – beberapa bulan). Bentuk lesi pada S II yaitu: a. Roseola sifilitika: eritema makular, berbintik-bintik, atau berbercak-bercak, warna tembaga dengan bentuk bulat atau lonjong. Jika terbentuk di kepala, dapat menimbulkan kerontokan rambut, bersifat difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. Bila S II lanjut pada rambut, kerontokan tampak setempat, membentuk bercak-bercak yang disebut alopesia areolaris. Lesi menghilang dalam beberapa hari/minggu, bila residif akan berkelompok dan bertahan lebih lama. Bekas lesi akan menghilang atau meninggalkan hipopigmentasi (leukoderma sifilitikum). b. Papul Bentuk ini paling sering terlihat pada S II, kadang bersama-sama dengan roseola. Papul berbentuk lentikular, likenoid, atau folikular, serta dapat berskuama (papulo-skuamosa) seperti psoriasis (psoriasiformis) dan dapat meninggalkan bercak leukoderma sifilitikum. Pada S II dini, papul generalisata dan S II lanjut menjadi setempat dan tersusun secara tertentu (susunan arsinar atau sirsinar yang disebut dengan korona venerik, susunan polikistik dan korimbiformis). Tempat predileksi papul: sudut mulut, ketiak, di bawah mammae, dan alat genital. Bentuk papul lainnya adalah kondiloma lata berupa papul lentikular, permukaan datar, sebagian berkonfluensi, dapat erosif dan eksudatif yang sangat menular akibat gesekan kulit. Tempat predileksi kondiloma lata: lipat paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah mammae dan antar jari kaki. c. Pustul Bentuk ini jarang didapati, dan sering diikuti demam intermiten. Kelainan ini disebut sifilis variseliformis. d. Konfluensi papul, pustul dan krusta mirip dengan impetigo atau disebut juga sifilis impetiginosa. Kelainan dapat membentuk berbagai ulkus yang ditutupi krusta yang disebut dengan ektima sifilitikum. Bila krusta tebal disebut rupia sifilitikum dan bila ulkus meluas ke perifer membentuk kulit kerang disebut sifilis ostrasea. S II pada mukosa (enantem) terutama pada mulut dan tenggorok. S II pada kuku disebut dengan onikia sifilitikum yaitu terdapat perubahan warna kuku menjadi putih dan kabur, kuku rapuh disertai adanya alur transversal dan longitudinal. Bagian distal kuku menjadi hiperkeratotik sehingga kuku terangkat. Bila terjadi kronis, akan membentuk paronikia sifilitikum. S II pada alat lain yaitu pembesaran KGB, uveitis anterior dan koroidoretinitis pada mata, hepatitis pada hepar, periostitis atau kerusakan korteks pada tulang, atau sistem saraf (neurosifilis). Sifilis laten dini tidak ada gejala, sedangkan stadium rekurens terjadi kelainan mirip S II. Sifilis laten lanjut biasanya tidak menular, lamanya masa laten adalah beberapa tahun bahkan hingga seumur hidup. Stadium III (sifilis tersier) Lesi pertama antara 3 – 10 tahun setelah S I. Bentuk lesi khas yaitu guma. Guma adalah infiltrat sirkumskrip kronis, biasanya lunak dan destruktif, besarnya lentikular hingga sebesar telur ayam. Awal lesi tidak menunjukkan tanda radang akut dan dapat digerakkan, setelah beberapa bulan menjadi melunak mulai dari tengah dan tanda-tanda radang mulai tampak. Kemudian terjadi perforasi dan keluar cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen atau disertai jaringan nekrotik. Tempat perforasi menjadi ulkus. Guma umumnya solitar, namun dapat multipel. Bentuk lain S III adalah nodus. Nodus terdapat pada epidermis, lebih kecil (miliar hingga lentikular), cenderung berkonfluensi dan tersebar dengan wana merah kecoklatan. Nodus memiliki skuama seperti lilin (psoriasiformis). S III pada mukosa biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi dalam bentuk guma S III pada tulang sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula dan humerus. S III pada organ dalam dapat menyerang hepar, esophagus dan lambung, paru, ginjal, vesika urinaria, prostat serta ovarium dan testis. 5. Petugas melakukan pemeriksaan penunjang Pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan T. pallidum pada sediaan serum dari lesi kulit. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut jika pemeriksaan I dan II negatif. Setelah diambil serum dari lesi, lesi dikompres dengan larutan garam fisiologis. Pemeriksaan lain yang dapat dirujuk, yaitu: a. Tes Serologik Sifilis (TSS), antara lain VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), dan tes imunofluoresens (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption Test – FTA-Abs) b. Histopatologi dan imunologi. 6. Petugas mengakkan diagnosa a. Sifilis kongenital 1. Dini (prekoks): bentuk ini menular, berupa bula bergerombol, simetris di tangan dan kaki atau di badan. Bentuk ini terjadi sebelum 2 tahun dan disebut juga pemfigus sifilitika. Bentuk lain adalah papulo-skuamosa. Wajah bayi tampak seperti orang tua, berat badan turun dan kulit keriput. Keluhan di organ lainnya dapat terjadi. 2. Lanjut (tarda): bentuk ini tidak menular, terjadi sesudah 2 tahun dengan bentuk guma di berbagai organ. 3. Stigmata: bentuk ini berupa deformitas dan jaringan parut. Pada lesi dini dapat • Pada wajah: hidung membentuk saddle nose (depresi pada jembatan hidung) dan bulldog jaw (maksila lebih kecil daripada mandibula). • Pada gigi membentuk gigi Hutchinson (pada gigi insisi permanen berupa sisi gigi konveks dan bagian menggigit konkaf). Gigi molar pertama permulaannya berbintil-bintil (mulberry molar). • Jaringan parut pada sudut mulut yang disebut regades. • Kelainan permanen lainnya di fundus okuli akibat koroidoretinitis dan pada kuku akibat onikia. Pada lesi lanjut: Kornea keruh, perforasi palatum dan septum nasi, serta sikatriks kulit seperti kertas perkamen, osteoporosis gumatosa, atrofi optikus dan trias Hutchinson yaitu keratitis interstisial, gigi Hutchinson, dan tuli N. VIII. b. Sifilis akuisita 1. Klinis: Terdiri dari 2 stadium: • Stadium I (S I) dalam 2-4 minggu sejak infeksi. • Stadium II (S II) dalam 6-8 minggu sejak S I. • Stadium III (S III) terjadi setelah 1 tahun sejak infeksi. 2. Epidemiologis • Stadium dini menular (dalam 1 tahun sejak infeksi), terdiri dari S I, S II, stadium rekuren dan stadium laten dini. • Stadium tidak menular (setelah 1 tahun sejak infeksi), terdiri dari stadium laten lanjut dan S III. Klasifikasi untuk neurosifilis: a. Neurosifilis asimptomatik, tidak menunjukkan gejala karena hanya terbatas pada cairan serebrospinal. b. Sifilis meningovaskular Bentuk ini terjadi beberapa bulan sampai 5 tahun sejak S I. Gejala tergantung letak lesi, antara lain berupa nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus sembab, gangguan mental, kelumpuhan nervus kranialis dan seterusnya. c. Sifilis parenkim 1. Tabes dorsalis (8-12 tahun sejak infeksi primer). Keluhan berupa gangguan motorik (ataksia, arefleksia), gangguan visus, retensi dan inkoninensia urin serta gangguan sensibilitas (nyeri pada kulit dan organ dalam). 2. Demensia paralitika (8-10 tahun sejak infeksi primer). Keluhan diawali dengan kemunduran intelektual, kehilangan dekorum, apatis, euphoria hingga waham megaloman atau depresif. Selain itu, keluhan dapat berupa kejang, lemah dan gejala pyramidal hingga akhirnya meninggal. d. Guma Guma umumnya terdapat pada meningen akibat perluasan dari tulang tengkorak. Keluhan berupa nyeri kepala, muntah dan dapat terjadi konvulsi serta gangguan visus. Pada pemeriksaan terdapat edema papil karena peningkatan tekanan intrakranial, paralisis nervus kranialis atau hemiplegi. 7. Petugas melakukan penatalaksanaan terhadap pasien a. Sifilis yang sedang dalam inkubasi dapat diobati dengan regimen penisilin atau dapat menggunakan ampisilin, amoksisilin, atau seftriakson mungkin juga efektif. b. Pengobatan profilaksis harus diberikan pada pasangan pasien, namun sebaiknya diberikan sejak 3 bulan sebelumnya, tanpa memandang serologi. c. Kontak seksual harus ditelusuri, diketahui dan diobati d. Pasien perlu diuji untuk penyakit lain yang ditularkan secara seksual (sexually transmitted diseases/ STD), termasuk HIV, harus dilakukan pada semua penderita. Pada sifilis dengan kehamilan untuk wanita berisiko tinggi, uji serologis rutin harus dilakukan sebelum trimester pertama dan awal trimester ketiga serta pada persalinan. Bila tanda-tanda klinis atau serologis memberi kesan infeksi aktif atau diagnosis sifilis aktif tidak dapat dengan pasti disingkirkan, maka indikasi untuk pengobatan. e. Petugas melakukan konseling dan edukasi a. Pasien diberikan pemahaman tentang penyakit, penularan serta penatalaksanaan di tingkat rujukan. b. Pasien disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual selama penyakit belum tuntas diobati 8. Petugas mendokumentasikan hasilnya di rekam medis dan simpus
  3. Prosedur Pemeriksaan Vaginitis : 1. Petugas memanggil pasien 2. Petugas mengidentifikasi pasien 3. Petugas menganamnesa pasien a. Bau adalah keluhan yang paling sering dijumpai b. Bau c. Gatal (pruritus) d. Keputihan e. Dispareunia f. Disuria 4. Petugas melakukan pemeriksaan Fisik kepada pasien Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya iritasi, eritema atau edema pada vulva dan vagina. Mungkin serviks juga dapat tampak eritematous. 5. Petugas melakukan pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan mikroskopik cairan atau sekret vagina. b. Pemeriksaan pH cairan vagina. c. Pemeriksaan uji whiff: jika positif berarti mengeluarkan mengeluarkan bau seperti anyir (amis), pada waktu ditambahkan larutan KOH. 6. Petugas mengakkan diagnosa 7. Petugas melakukan penatalaksanaan terhadap pasien a. Menjaga kebersihan diri terutama daerah vagina Hindari pemakaian handuk secara bersamaan b. Hindari pemakaian sabun untuk membersihkan daerah vagina yang dapat menggeser jumlah flora normal dan dapat merubah kondisi pH daerah kewanitaan tersebut. c. Jaga berat badan ideal d. Farmakologis : ? Tatalaksana Vaginosis Bakterialis • Metronidazol 500 mg peroral 2 x sehari selama 7 hari • Metronidazol pervagina 2 x sehari selama 5 hari • Krim Klindamisin 2% pervagina 1 x sehari selama 7 hari ? Tatalaksana Vaginosis trikomonas • Metronidazol 2 g peroral (dosis tunggal) • Pasangan seks pasien sebaiknya juga diobati ? Tatalaksana vulvovaginitis kandida Flukonazol 150 mg peroral (dosis tunggal) 8. Petugas melakukan konseling dan edukasi kepada pasien Memberikan informasi kepada pasien, dan (pasangan seks) suami, mengenai faktor risiko dan penyebab dari penyakit vaginitis ini sehingga pasien dan suami dapat menghindari faktor risikonya. Dan jika seorang wanita terkena penyakit ini maka diinformasikan pula pentingnya pasangan seks (suami) untuk dilakukan juga pemeriksaan dan terapi guna pengobatan secara keseluruhan antara suami-istri dan mencegah terjadinya kondisi yang berulang. 9. Petugas mendokumentasikan hasilnya di rekam medis dan simpus
  4. Prosedur Pemeriksaan Fluor Albus : 1. Petugas memanggil pasien 2. Petugas mengidentifikasi pasien 3. Petugas menganamnesa pasien a. Biasanya terjadi pada daerah genitalia perempuan yang berusia diatas 12 tahun, ditandai dengan adanya perubahan pada duh tubuh disertai salah satu atau lebih gejala rasa gatal, nyeri, disuria, nyeri panggul, perdarahan antar menstruasi atau perdarahan pasca-koitus. b. Terdapat riwayat koitus dengan pasangan yang dicurigai menularkan penyakit menular seksual. 4. Petugas melakukan pemeriksaan Fisik kepada pasien Periksa klinis dengan seksama untuk menyingkirkan adanya kelainan patologis yang lebih serius. Pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit menular seksual sebaiknya ditawarkan untuk diperiksa Chlamydia, gonorrhoea, sifilis dan HIV. Swab vagina atas (high vaginal swab) tidak terlalu berarti untuk diperiksa, kecuali pada keadaan keraguan menegakkan diagnosis, gejala kambuh, pengobatan gagal, atau pada saat kehamilan, post partum, post aborsi dan post instrumentation. 5. Petugas mengakkan diagnosa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan spekulum, palpasi bimanual, uji pH duh vagina dan swab (bila diperlukan) 6. Petugas melakukan penatalaksanaan terhadap pasien Pasien dengan riwayat risiko rendah penyakit menular seksual dapat diobati sesuai dengan gejala dan arah diagnosisnya. Vaginosis bakterial: a. Metronidazole atau Clindamycin secara oral atau per vaginam. b. Tidak perlu pemeriksaan silang dengan pasangan pria. c. Bila sedang hamil atau menyusui gunakan metronidazole 400 mg 2x sehari untuk 5-7 hari atau pervaginam. Tidak direkomendasikan untuk minum 2 g peroral. d. Tidak dibutuhkan peningkatan dosis kontrasepsi hormonal bila menggunakan antibiotik yang tidak menginduksi enzim hati. e. Pasien yang menggunakan IUD tembaga dan mengalami vaginosis bakterial dianjurkan untuk mengganti metode kontrasepsinya. Vaginitis kandidiosis terbagi atas: a. Infeksi tanpa komplikasi b. Infeksi parah c. Infeksi kambuhan d. Dengan kehamilan e. Dengan Diabetes atau imunokompromi Penatalaksanaan vulvovaginal kandidiosis: a. Dapat diberikan azole antifungal oral atau pervaginam b. Tidak perlu pemeriksaan pasangan c. Pasien dengan vulvovaginal candidiosis yang berulang dianjurkan untuk memperoleh pengobatan paling lama 6 bulan. d. Pada saat kehamilan, hindari obat anti-fungi oral, dan gunakan imidazole topikal hingga 7 hari. e. Hati-hati pada pasien pengguna kondom atau kontrasepsi lateks lainnya, bahwa penggunaan antifungi lokal dapat merusak lateks f. Pasien pengguna kontrasepsi pil kombinasi yang mengalami vulvovaginal kandidiosis berulang, dipertimbangkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lainnya Chlamydia: a. Azithromycin 1g single dose, atau Doxycycline 100 mg 2x sehari untuk 7 hari b. Ibu hamil dapat diberikan Amoxicillin 500 mg 3x sehari untuk 7 hari atau Eritromisin 500 mg 4x sehari untuk 7 hari Trikomonas vaginalis: a. Obat minum nitromidazole (contoh metronidazole) efektif untuk mengobati trikomonas vaginalis b. Pasangan seksual pasien trikomonas vaginalis harus diperiksa dan diobati bersama dengan pasien c. Pasien HIV positif dengan trikomonas vaginalis lebih baik dengan regimen oral penatalaksanaan beberapa hari dibanding dosis tunggal d. Kejadian trikomonas vaginalis seringkali berulang, namun perlu dipertimbangkan pula adanya resistensi obat Komplikasi: a. Radang panggul (Pelvic Inflamatory Disease = PID) dapat terjadi bila infeksi merambah ke atas, ditandai dengan nyeri tekan, nyeri panggul kronis, dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik b. Infeksi vagina yang terjadi pada saat pasca aborsi atau pasca melahirkan dapat menyebabkan kematian, namun dapat dicegah dengan diobati dengan baik c. Infertilitas merupakan komplikasi yang kerap terjadi akibat PID, selain itu kejadian abortus spontan dan janin mati akibat sifilis dapat menyebabkan infertilitas d. Kehamilan ektopik dapat menjadi komplikasi akibat infeksi vaginal yang menjadi PID. 7. Petugas mendokumentasikan hasilnya di rekam medis dan simpus
  5. Prosedur Pemeriksaan Vulvitis : 1. Petugas memanggil pasien 2. Petugas mengidentifikasi pasien 3. Petugas menganamnesa pasien a. Rasa gatal dan perih di kemaluan, serta keluarnya cairan kental dari kemaluan yang berbau. b. Rasa terbakar di daerah kemaluan c. Gatal d. Kemerahan dan iritasi e. Keputihan 4. Petugas melakukan pemeriksaan Fisik kepada pasien Dari inspeksi daerah genital didapati kulit vulva yang menebal dan kemerahan, dapat ditemukan juga lesi di sekita vulva. Adanya cairan kental dan berbau yang keluar dari vagina. 5. Petugas menegakkan diagosis 6. Petugas melakukan penatalaksanaan terhadap pasien a. Menghindari penggunaan bahan yang dapat menimbulkan iritasi di sekitar daerah genital. b. Menggunakan salep Kortison. Jika vulvitis disebabkan infeksi vagina, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik sesuai penatalaksanaan vaginitis atau vulvovaginitis. c. Pasien dirujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin jika pemberian salep Kortison tidak memberikan respon. 7. Petugas mendokumentasikan hasilnya di rekam medis dan simpus

15 Menit

Tidak dipungut biaya

Pemeriksaan IMS

Anda juga dapat menyampaikan pengaduan, aspirasi, maupun permintaan informasi melalui aplikasi LAPOR!

Melalui LAPOR!, Anda dapat menyampaikan permasalahan pelayanan publik yang Anda temui dalam satu kanal sehingga laporanmu dapat kami sampaikan ke instansi terkait.

Website LAPOR! Unduh di Play Store Unduh di App Store

Isu dan Keluhan

Klik banner dibawah untuk melaporkan masalah Pelayanan Publik "Pelayanan Rawat Jalan"